Al ustadz muslim abu ishaq al
atsari
Adapun syariat tayammum ini allah subhanahu
wata’ala yang maha sempurna kasih sayang-nya pada hamba-hamba-nya berfirman
dalam kitab-nya yang mulia (yang artinya): “apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah
seorang dari kalian datang dari tempat buang air besar (selesai buang hajat)
atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air,
maka bertayammumlah dengan tanah/ debu yang baik (suci), (dengan cara)
usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian. Allah tidak menginginkan untuk
menjadikan keberatan atas kalian di dalam menjalankan syariat agama ini, akan
tetapi allah ingin mensucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-nya atas kalian.
Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (al-maidah: 6)
Tayammum khusus bagi umat muhammad
sholallahu ‘alaihi wasallam
Syariat
tayammum merupakan kekhususan bagi umat muhammad dan di mana syariat ini tidak
diberikan kepada umat-umat sebelumnya sebagaimana dinyatakan rasulullah
subhanahu wata’ala dalam sabda beliau (yang artinya): “diberikan kepadaku lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang
nabi pun sebelumku; (pertama) aku ditolong dengan ditanamkannya rasa takut pada
musuh-musuhku terhadapku walaupun jarak (aku dan mereka) masih sebulan
perjalanan, (kedua) bumi dijadikan untukku sebagai masjid (tempat mengerjakan
shalat), dan sebagai sarana bersuci….” (hr. Al-bukhari no. 335, 438 dan
muslim no. 521)
Al-imam an-nawawi rahimahullah
menerangkan bahwasanya tayammum merupakan rukhshah (keringanan) dan keutamaan
yang allah subhanahu wata’ala berikan secara khusus kepada umat ini yang tidak
diberikan kepada umat-umat sebelumnya. (al-majmu’ 2/239)
Pengertian Tayammum
Tayammum secara bahasa diinginkan
dengan makna “bermaksud” dan “bersengaja”. Sedangkan makna tayammum apabila
ditinjau menurut syariat adalah “bersengaja menggunakan tanah/ debu untuk
mengusap wajah dan dua telapak tangan disertai niat”, sehingga dengan
perbuatan/amalan ini pelakunya diperkenankan mengerjakan shalat dan ibadah yang
semisalnya. (fathul bari, 1/539).
Tayamum adalah pengganti wudhu atau mandi wajib yang
tadinya seharusnya menggunakan air bersih digantikan dengan menggunakan tanah
atau debu yang bersih. Yang boleh dijadikan alat tayamum adalah tanah suci yang
ada debunya. Dilarang bertayamum dengan tanah berlumpur, bernajis atau
berbingkah. Pasir halus, pecahan batu halus boleh dijadikan alat melakukan
tayamum.
Orang yang melakukan tayamum lalu shalat, apabila air
sudah tersedia maka ia tidak wajib mengulang sholatnya. Namun untuk
menghilangkan hadas, harus tetap mengutamakan air daripada tayamum yang wajib
hukumnya bila sudah tersedia. Tayamum untuk hadas hanya bersifat sementara dan
darurat hingga air sudah ada.
Tayamum yang telah dilakukan bisa batal apabila ada
air dengan alasan tidak ada air atau bisa menggunakan air dengan alasan tidak
dapat menggunakan air tetapi tetap melakukan tayamum serta sebab musabab lain
seperti yang membatalkan wudu dengan air.
Sebab / alasan melakukan tayamum :
o
Dalam
perjalanan jauh
o
Jumlah
air tidak mencukupi karena jumlahnya sedikit
o
Telah
berusaha mencari air tapi tidak diketemukan
o
Air
yang ada suhu atau kondisinya mengundang kemudharatan
o
Air yang ada hanya untuk minum
o
Air berada di tempat yang jauh yang dapat
membuat telat shalat
o
Pada
sumber air yang ada memiliki bahaya
o
Sakit
dan tidak boleh terkena air
Syarat sah tayamum :
·
Sesudah masuk waktu sembahyang (sebelum masuk waktu tidak boleh
bertayamum).
·
Sesudah berusaha atau berikhtiar
mencari air tetapi tidak berjumpa atau air yang hendak digunakan terlalu
sedikit ataupun cuma untuk minuman sahaja.
·
Sebelum melakukan tayamum hendaklah terlebih
dahulu menghilangkan najis jika ada.
·
Memakai
tanah berdebu yang bersih dari najis dan kotoran
·
Memenuhi alasan atau sebab melakukan tayamum
·
Tidak
haid maupun nifas bagi wanita / perempuan
·
Menghilangkan najis yang yang melekat pada
tubuh
Sunah / sunat ketika melaksanakan tayamum :
§ Menghadap
ke arah kiblat.
§ Membaca
"bismillah hirrahman nirrahim".
§ Menipiskan
debu di tangan.
§ Membaca doa ketika selesai tayamum
§ Medulukan kanan dari pada kiri
§ Meniup debu yang ada di telapak
tangan
§ Menggodok sela jari setelah
menyapu tangan hingga siku
Fardu tayamum
·
Niat, membaca niat sebelum bertayamum, tekan
kedua tapak tangan di atas tanah yang bersih dan berdebu. "nawaitut tayamumma liistibahatis
solaah" ertinya "sahaja aku tayamum kerana menguruskan sembahyang ".
·
Muka, menyapu muka dengan tanah yang
bersih dan berdebu dengan sekali tepukan.
·
Tangan, menyapu tangan kanan hingga sampai
ke siku dengan tanah yang bersih dan berdebu dari tepukan yang kedua kalinya,
kemudian tangan kiri.
·
Tertib, bermakna mengikut urutan atau
turutan (dahulukan
- Niat, muka kemudian tangan).
"nawaitut
tayamumma liistibahatis solaah" ertinya
"sahaja aku tayamum kerana menguruskan sembahyang ".
|
|
Sapukan
ke muka
|
Sapukan
tangan
|
|
Perkara yang mebatalkan tayamum
§ Segala
apa perbuatan atau perlakuan yang membatalkan wuduk maka akan batal juga
tayamum.
§ Terdapat
air setelah hendak melakukan sembahyang.
Tata
cara tayammum
‘ammar bin yasir radhiyallahu ‘anhu
berkata: “nabi sholallahu ‘alaihi wasallam mengutusku untuk suatu kepentingan.
Lalu di tengah perjalanan aku junub sedangkan aku tidak mendapatkan air untuk
bersuci. Maka aku pun berguling-guling di tanah sebagaimana hewan berguling-guling.
Kemudian aku mendatangi nabi sholallahu ‘alaihi wasallam dan kuceritakan hal
tersebut kepada beliau, beliau pun bersabda (yang artinya): “sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari
junub itu dengan melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan
beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap
punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan
kirinya dengan telapak tangannya [1], kemudian beliau mengusap wajahnya dengan
kedua tangannya.” (hr. Al-bukhari no. 347 dan muslim no. 368)
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa
setelah rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam memukulkan kedua telapak tangan
beliau ke bumi: “beliau meniupnya,
kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak
tangannya.” (hr. Al-bukhari no. 338 dan muslim no. 368)
Dari hadits ammar radhiyallahu ‘anhu
di atas dapat kita simpulkan bahwa tata cara tayammum itu adalah:
- Memukulkan
dua telapak tangan ke tanah/ debu dengan sekali pukulan
- Meniup
atau mengibaskan tanah/debu yang menempel pada dua telapak tangan tersebut
- Mengusap
wajah terlebih dahulu, lalu mengusap kedua telapak tangan, bagian dalam
maupun luarnya. Ataupun mengusap telapak tangan dahulu baru setelahnya
mengusap wajah.
Tata cara /
praktek tayamum :
§
membaca
basmalah
§ renggangkan jari-jemari,
tempelkan ke debu, tekan-tekan hingga debu melekat.
§ angkat kedua tangan lalu tiup
telapat tangan untuk menipiskan debu yang menempel, tetapi tiup ke arah
berlainan dari sumber debu tadi.
§ niat tayamum : nawaytuttayammuma
listibaa hatishhalaati fardhollillahi ta'aala (saya niat tayammum untuk
diperbolehkan melakukan shalat karena allah ta'ala).
§ mengusap telapak tangan ke muka
secara merata
§ bersihkan debu yang tersisa di
telapak tangan
§ ambil debu lagi dengan
merenggangkan jari-jemari, tempelkan ke debu, tekan-tekan hingga debu melekat.
§ angkat kedua tangan lalu tiup
telapat tangan untuk menipiskan debu yang menempel, tetapi tiup ke arah
berlainan dari sumber debu tadi.
§
mengusap
debu ke tangan kanan lalu ke tangan kiri
Berniat
Setiap perbuatan baik (yang mubah) dapat bernilai ibadah
apabila disertai niat, demikian pula setiap amalan yang disyariatkan dalam
agama ini tentunya harus disertai niat karena rasulullah sholallahu ‘alaihi
wasallam bersabda (yang artinya): “hanyalah
amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya.” (hr. Al-bukhari no. 1 dan
muslim no. 1907)
Dan niat tempatnya di dalam hati tidak dilafadzkan.
Dalam masalah tayammum, niat merupakan syarat, hal ini
merupakan pendapat jumhur ulama. (bidayatul mujtahid, hal. 60)
Al-imam an-nawawi rahimahullah berkata: “niat dalam tayammum
adalah wajib menurut kami tanpa adanya perselisihan.” (al majmu’, 2/254)
Al-imam ibnu qudamah rahimahullah berkata: “tidak diketahui
adanya perselisihan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang tidak sahnya
tayammum kecuali dengan niat. Seluruh ahli ilmu berpendapat wajibnya niat dalam
tayammum terkecuali apa yang diriwayatkan dari al-auza’i[2] dan al-hasan bin shalih yang keduanya berpendapat bahwa
tayammum itu sah adanya tanpa niat.” (al-mughni, 1/158)
Memukulkan Dua Telapak Tangan Ke
Tanah/Debu Dengan Sekali Pukulan
Ulama berbeda pendapat dalam masalah cukup tidaknya
bertayammum dengan sekali pukulan ke permukaan bumi. Di antara mereka ada yang
berpendapat cukup sekali, tidak lebih, sebagaimana disebutkan dalam hadits
‘ammar di atas. Demikian pendapat al-imam ahmad, ‘atha`, makhul, al-auza’i,
ishaq, ibnul mundzir dan mayoritas ahlul hadits. Demikian juga pendapat ini
adalah pendapat jumhur ahli ‘ilmi. (tharhut tatsrib 1/269-270, adhwa`ul bayan,
tafsir surat al-maidah ayat 6, masalah ke-2). Dan ini merupakan pendapat yang
rajih menurut penulis, wallahu a’lam.
Hal ini menyelisihi pendapat yang
mengatakan dua kali pukulan ke tanah seperti pendapat kebanyakan fuqaha dengan
bersandar hadits ibnu ‘umar rahiyallahu ‘anhu dari rasulullah sholallahu
‘alaihi wasallam: “tayammum itu dua
kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.”
(hr. Ad-daraquthni dalam sunan-nya 1/180,181, 183)
Namun para imam menghukumi hadits
ini mauquf terhadap ibnu ‘umar radhiyallahu ‘anhu. Demikian pernyataan ibnul
qaththan, husyaim, ad-daraquthni, dan yang lainnya. Juga dalam sanad hadits ini
ada ‘ali bin dhabyan, seorang perawi yang lemah, dilemahkan oleh ibnul
qaththan, ibnu ma’in, dan selainnya (at-talkhis 1/237, adhwa` ul bayan, tafsir
surat al-maidah ayat 6, masalah ke-3). Al-hafidz ibnu hajar berkata tentangnya
dalam at-taqrib (hal. 341): “dha’if.”
Al-hafidz ibnu hajar al-’asqalani
rahimahullah berkata: “hadits-hadits menyebutkan tentang sifat/ tata cara
tayammum tidak ada yang shahih kecuali hadits abul juhaim ibnul harits
al-anshari[3] dan hadits ‘ammar.
Adapun selain keduanya maka haditsnya dha’if atau diperselisihkan marfu’ dan
mauqufnya, namun yang rajih tidak ada yang marfu’.” (fathul bari, 1/554).
Beliau memaparkan keterangan tentang dhaif dan mauqufnya jalan-jalan sanad
hadits dalam at-talkhis 1/236-240 no.206-208.
Al-imam ash-shan‘ani rahimahullah
berkata: “ada beberapa riwayat yang semakna dengan hadits ini namun semuanya
tidak shahih. Riwayat yang ada hanya mauquf atau dha’if (lemah).” (subulus
salam, 1/149)
Dalam hadits abul juhaim dan hadits
‘ammar tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa tayammum itu dengan dua kali
pukulan ke bumi. Bahkan dalam hadits ‘ammar ditunjukkan bahwa pukulan ke bumi
itu hanya sekali. (adhwaul bayan, tafsir surat al-maidah, ayat 6, masalah ke-2)
Selain itu, ada pula yang
berpendapat tayammum dilakukan dengan tiga kali pukulan seperti pendapat ibnul
musayyab, az-zuhri dan ibnu sirin, dengan perincian: sekali untuk wajah, sekali
untuk kedua telapak tangan dan sekali untuk kedua lengan. Namun sebagaimana
penjelasan di atas, pendapat seperti ini marjuh (lemah). Kata al-imam
asy-syaukani rahimahullah: “aku tidak mendapatkan dalil dari pendapat ini.”
(nailul authar, 1/368)
Meniup Atau Mengibaskan Debu Dari Dua Telapak Tangan
Dibolehkan meniup tanah atau debu
yang menempel pada dua telapak tangan yang telah dipukulkan ke permukaan bumi
atau mengibaskannya bila memang diperlukan, berdasarkan hadits dalam
ash-shahihain yang telah lewat penyebutannya.
Al-imam an-nawawi rahimahullah
menyatakan yang dimaukan dengan mengibaskannya di sini adalah meringankan debu
yang banyak menempel pada telapak tangan. Juga hal ini disenangi pengamalannya
sehingga nantinya hanya tersisa debu yang sekedarnya untuk diusapkan merata ke
anggota tubuh (tangan dan wajah, pent). (syarah shahih muslim, 4/62)
Al-hafidz ibnu hajar al-’asqalani
rahimahullah setelah membawakan hadits tentang meniup ini, beliau berkata:
“(dari hadits yang menyebutkan) nabi sholallahu ‘alaihi wasallam meniup
tanah/debu sebelum diusapkan ke anggota tayammum, diambil dalil tentang
sunnahnya meringankan tanah/debu (yang akan diusapkan ke wajah dan tangan).”
(fathul bari, 1/554)
Kata ibnu qudamah rahimahullah:
“apabila pada kedua tangan seseorang yang sedang tayammum itu tanah/debu yang
banyak menempel maka tidak masalah baginya untuk meniup tanah/debu tersebut
karena dalam hadits ‘ammar radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa setelah nabi
sholallahu ‘alaihi wasallam memukulkan kedua telapak tangannya ke bumi, beliau
meniupnya. Al-imam ahmad rahimahullah menyatakan: “tidak masalah baginya
melakukan hal tersebut ataupun tidak.” (al-mughni, 1/155)
Mengusap Wajah Terlebih Dahulu Kemudian Mengusap Dua Telapak Tangan
Al-imam asy-syafi’i rahimahullah dan
pengikut-pengikut beliau berpandangan mendahulukan mengusap wajah daripada
tangan adalah rukun dari rukun-rukun tayammum. (adhwaul bayan, tafsir surat
al-maidah, ayat 6, masalah ke-4).
Al-’allamah asy-syinqithi
rahimahullah berkata: “al-imam an-nawawi rahimahullah menghikayatkan
kesepakatan pengikut madzhab asy-syafi’iyyah dalam masalah ini. Sekelompok
ulama yang lain di antaranya al-imam malik rahimahullah dan mayoritas pengikut
beliau berpandangan mendahulukan wajah daripada kedua tangan hukumnya sunnah.”
Sementara al-imam ahmad rahimahullah
dan yang sependapat dengannya berpandangan mengusap tangan didahulukan
(daripada mengusap wajah). (adhwaul bayan, tafsir surat al-maidah, ayat 6,
masalah ke-4)
Al-hafidz ibnu hajar al-’asqalani
rahimahullah berkata: “mayoritas ulama mendahulukan mengusap wajah sebelum
tangan, tapi mereka berselisih apakah hal itu wajib atau sunnah saja hukumnya.”
(fathul bari, 1/440)
Namun yang kuat dalam permasalahan
ini dalam pandangan penulis, wallahu a’lam, sunnahnya dan lebih utamanya
mendahulukan wajah daripada pengusapan tangan, karena adanya dua alasan berikut
ini:
Pertama:
riwayat mendahulukan wajah atas kedua tangan lebih kuat dari riwayat yang
sebaliknya (mendahulukan tangan). Sampai-sampai al-imam ahmad rahimahullah
berkata bahwa riwayat abu mu’awiyah dari al-a’masy tentang mendahulukan tangan
adalah salah (fathul bari, karya ibnu rajab al-hambali, 2/90).
Kedua:
mendahulukan wajah merupakan dzahir al qur`an karena allah subhanahu wata’ala
berfirman (yang artinya): “maka
usaplah wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” (al-maidah: 6)
Dalam ayat di atas, allah subhanahu
wata’ala mendahulukan wajah dari tangan sementara kita tahu bahwa rasulullah
sholallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda (yang artinya): “aku memulai dengan apa yang allah mulai.”
(hr. Muslim no. 1218)
Dalam riwayat an-nasa`i disebutkan
dengan lafadz perintah: “mulailah
kalian dengan apa yang allah mulai.” (hr. An-nasa`i no. 2913)
Ketika rasulullah sholallahu ‘alaihi
wasallam menyampaikan hadits di atas beliau kemudian membaca ayat allah (yang
artinya): “sesungguhnya shafa dan
marwah termasuk syiar-syiar allah.” (al-baqarah: 158)
Dalam ayat ini allah subhanahu
wata’ala memulai penyebutan shafa sebelum marwah sehingga dalam ibadah sa’i
(dalam amalan haji) pelaksanaannya dimulai dari shafa terlebih dahulu lalu
menuju ke marwah. Hal ini dilakukan dalam rangka mengamalkan hadits nabi
sholallahu ‘alaihi wasallam di atas.
Al-hafidz ibnu hajar al-’asqalani
rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits ‘ammar radhiyallahu ‘anhu dalam
riwayat al-bukhari no. 347[4]:
“dalam hadits ini menunjukkan tidak disyaratkannya berurutan dalam tayammum.”
(fathul bari, 1/569)
Dengan adanya dua riwayat yang
menyatakan pengusapan wajah terlebih dahulu baru tangan[5] -dan ini sesuai dengan penyebutan ayat tayammum- dengan
penyebutan tangan terlebih dahulu baru wajah yang keduanya berada dalam
ash-shahihain, maka dengan demikian menunjukkan bolehnya mendahulukan wajah dan
boleh pula mendahulukan telapak tangan (al-muhalla, 1/379). Namun yang sunnah
dan utama mendahulukan pengusapan wajah dengan alasan yang telah disebutkan,
wallahu a’lam.
Batasan Tangan Yang Harus Diusap
Dalam hal ini ulama berselisih
pendapat. Namun pendapat yang rajih menurut penulis adalah yang diusap hanya
dua telapak tangan (luar maupun dalam), sebagaimana pendapat al-imam ahmad,
ishaq, ibnul mundzir, ibnu khuzaimah dan dinukilkan pula pendapat ini dari
malik. Al-imam al-khaththabi menukilkan pendapat demikian dari ashhabul hadits
dan al-imam asy-syafi’i berpendapat seperti ini dalam al-qadim (pendapat yang
lama). Al-imam at-tirmidzi menukilkan pendapat ini dari sekumpulan shahabat di
antaranya ‘ali bin abi thalib, ‘ammar bin yasir dan ibnu ‘abbas serta
sekumpulan tabi’in seperti asy-sya’bi, ‘atha` dan makhul. (sunan at-tirmidzi,
1/97)
Adapun pendapat yang mengatakan
bahwa batasan tangan yang diusap harus sampai ke siku[6]. Mereka berdalil antara lain dengan hadits ibnu ‘umar yang
diriwayatkan oleh ad-daruquthni dan al-baihaqi[7], dan pembicaraan tentang hukum hadits ini sudah kita singgung
pada permasalahan memukulkan dua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali
pukulan di mana haditsnya dha’if atau mauquf.
Ibnul qayyim rahimahullah berkata:
“nabi sholallahu ‘alaihi wasallam bertayammum dengan satu kali pukulan untuk
wajah dan kedua telapak tangan, dan tidak ada hadits yang shahih dari beliau
bahwasanya beliau tayammum dengan dua kali pukulan dan tidak pula mengusap
tangan sampai ke siku. Al-imam ahmad rahimahullah menyatakan: ‘siapa yang
berpendapat tayammum itu sampai ke siku maka hal itu adalah sesuatu yang dia
tambahkan sendiri dari dirinya’.” (zadul ma’ad, 1/50)
Ada pula yang berpendapat pengusapan
dilakukan sampai ke pundak dan ketiak sebagaimana diriwayatkan hal ini dari
az-zuhri dan muhammad bin maslamah. Namun dalil yang mereka jadikan sandaran
goncang sekali (mudhtharib) seperti keterangan abu dawud dalam sunan-nya
(setelah membawakan hadits no. 273). Ibnu hazm membicarakan hadits ini di dalam
al-muhalla (1/373-374), kemudian beliau berkata: “yang wajib bagi kita adalah
kembali kepada al qur`an dan as sunnah, sebagaimana allah perintahkan kepada
kita untuk kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan. Sehingga kalau
kita mau melakukannya kita akan mendapatkan allah subhanahu wata’ala berfirman
(yang artinya): “maka bertayammumlah dengan debu yang baik (suci), (dengan
cara) usapkanlah dari debu itu wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” Dalam
ayat ini allah subhanahu wata’ala tidak memberikan batasan kecuali sekadar
menyatakan (mengusap) tangan. Demikian juga kita yakin apabila allah subhanahu
wata’ala menginginkan pengusapan itu sampai ke siku, kepala dan kedua kaki,
niscaya allah akan menerangkannya dan menyebutkannya sebagaimana allah lakukan
hal ini ketika menyebutkan tentang wudhu. Bila allah menginginkan pengusapan
tayammum itu mencakup seluruh tubuh, niscaya allah akan menerangkannya
sebagaimana hal ini dilakukan-nya ketika menyebut tentang mandi. Apabila allah
subhanahu wata’ala tidak menyebutkan dalam ayatnya kecuali hanya wajah dan
kedua tangan maka tidak boleh seorang pun menambah dari apa yang telah allah
subhanahu wata’ala sebutkan, baik itu kedua siku, kepala ataupun kedua kaki dan
seluruh tubuh. Sehingga tidak wajib dalam tayammum kecuali hanya mengusap wajah
dan kedua tangan.”
Al-hafidz ibnu rajab al-hambali
rahimahullah dalam fathul bari (2/56) berkata: “hadits ini sangat mungkar dan
terus menerus ahlul ilmi mengingkarinya.”
Guru kami al-muhaddits asy-syaikh
muqbil al-wadi’i rahimahullah juga mendha’ifkannya.
Al-imam az-zuhri rahimahullah
sendiri mengingkari hadits yang diriwayatkannya ini, seperti dikatakan
al-hafidz ibnu rajab rahimahullah: “hadits ini telah diingkari oleh az-zuhri
(sebagai salah seorang perawi hadits tersebut), ia berkata: ‘hadits ini tidak
dianggap oleh manusia’. Dan setelah itu az-zuhri menahan diri untuk
menyampaikan hadits ini, beliaupun berkata: “hadits ini tidak boleh diamalkan.”
(fathul bari, al-hafidz ibnu rajab al-hambali, 2/57)
Al-imam asy-syafi’i rahimahullah dan
selainnya mengatakan: “apabila riwayat tentang tata cara tayammum yang demikian
(mengusap tangan sampai ketiak) datang dengan perintah nabi sholallahu ‘alaihi
wasallam maka riwayat tersebut terhapus dengan tata cara tayammum yang shahih
yang datang belakangan dari nabi sholallahu ‘alaihi wasallam. Dan jika riwayat
itu datang bukan dengan perintah nabi sholallahu ‘alaihi wasallam maka yang
jadi hujjah adalah apa yang beliau perintahkan. Juga yang menguatkan riwayat
ash-shahihain tentang pembatasan pengusapan hanya pada wajah dan dua telapak
tangan adalah keberadaan ‘ammar bin yasir radhiyallahu ‘anhu (shahabat yang
meriwayatkan hadits tentang tata cara tayammum, pen.) Memfatwakan hal tersebut
setelah meninggalnya nabi n. Dan tentunya perawi hadits lebih mengetahui apa
yang dimaukan dengan hadits itu daripada selainnya, terlebih lagi beliau adalah
seorang mujtahid.” (fathul bari 1/55, subulus salam 1/150, adhwa`ul bayan,
tafsir surat al-maidah ayat 6, masalah ke-3)
Perselisihan Tentang Pengusapan Wajah
Al-imam malik, al-imam asy-syafi’i,
al-imam ahmad dan jumhur ulama berpendapat wajib mengusap seluruh wajah dengan
debu dan mengusap rambut bagian luar yang ada di atas wajah, sama saja baik
rambut itu wajib terkena air sampai ke bawahnya seperti rambut yang tipis yang
menampakkan kulit ataupun tidak.
Sedangkan pendapat kalangan ahlul
ilmi yang lain tidak harus mengusap secara keseluruhan. Pendapat demikian
adalah pendapat sulaiman bin dawud, yahya bin yahya an-naisaburi dan al-jauzajani.
Hal ini karena mereka berpandangan mengusap wajah dalam tayammum sama dengan
mengusap kepala dalam wudhu, di mana mengusap sebagian kepala sudah mencukupi
dalam wudhu. (fathul bari, al-hafidz ibnu rajab, 2/50, al-muhalla, 1/368)
Asy-syaikh ibnu utsaimin
rahimahullah berkata: “thaharah tayammum ditetapkan oleh allah subhanahu
wata’ala untuk memberikan keringanan dan kemudahan kepada hamba-hamba-nya. Hal
ini tentunya berbeda dengan thaharah ketika menggunakan air. Maka dalam tayammum
tidak wajib menyampaikan debu ke seluruh wajah dan kedua tangan menurut
pendapat yang rajih. Bahkan dimaafkan bila ada bagian yang tidak sampai pengusapan
padanya dikarenakan harus menempuh kesulitan untuk mengusapnya seperti pangkal
rambut. Tidak wajib menyampaikan debu ke pangkalnya walaupun rambut itu tipis.
Dengan demikian yang diusap hanyalah yang dzahir (bagian luar permukaan wajah
saja, pent.). Adapun dalam wudhu, bila rambut itu tipis maka wajib menyampaikan
air ke pangkal rambut tersebut.” (asy-syarhul mumti’ ‘ala zadil mustaqni’,
1/349)
Dan penulis dalam permasalahan ini
lebih condong kepada apa yang dikatakan oleh asy-syaikh ibnu utsaimin
rahimahullah, karena dzahir nash yang datang dari nabi subhanahu wata’ala
mencukupi bagi kita kecuali bila ada dalil yang memalingkannya dari dzahirnya.
Sehingga dalam tata cara tayammum cukup seseorang itu mengusapkan ke wajahnya,
tanpa harus menyela-nyela jenggotnya dan mengusapkan ke tangannya tanpa harus
menyela-nyela jari-jemarinya.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.
Catatan kaki
[1] ibnu
hajar rahimahullah berkata: “demikian seluruh riwayat menyebut dengan keraguan.
Tapi dalam riwayat abu dawud ada pelurusan melalui jalan mu’awiyah juga dan
lafadznya: lalu menepuk tangan kanan dengan tangan kirinya dan tangan kiri
dengan tangan kanannya pada (bagian) dua telapaknya, lalu mengusap wajahnya.
(fathul bari 1/456 dan shahih sunan abu dawud no. 321)(ed)
[2] tharhut tatsrib, al-imam
al-’iraqi, 1/268
[3] abul juhaim radhiyallahu
‘anhu berkata: “nabi sholallahu ‘alaihi
wasallam datang dari arah sumur jamal ketika seorang lelaki berpapasan dengan
beliau. Lelaki itu pun mengucapkan salam namun nabi sholallahu ‘alaihi wasallam
tidak membalasnya sampai beliau menghadap ke tembok (memukulkan tangannya ke
tembok, pen.) Lalu mengusap wajah dan kedua tangan beliau, barulah setelah itu
beliau menjawab salam tersebut.” (hr. Al-bukhari no. 337 dan muslim no.
369)
[4] yaitu sabda rasulullah
sholallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘ammar radhiyallahu ‘anhu (yang artinya): “sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari
junub itu dengan melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan
beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap
punggung kedua telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung
tangan kirinya dengan telapak tangannya, kemudian beliau mengusap wajahnya
dengan kedua tangannya.” (hr. Al-bukhari no. 347 dan muslim no. 368)
[5] disebutkan dalam riwayat: “beliau meniupnya kemudian dengan keduanya
beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (hr.
Al-bukhari no. 338 dan muslim no. 368)
[6] seperti pendapat abu
hanifah, asy-syafi’i, dan pengikut keduanya, ats-tsauri, ibnu abi salamah, dan
al-laits. Demikian pula pendapat muhammad bin abdillah bin abdil hakam, ibnu
nafi’, dan isma’il al-qadhi. (adhwaul bayan, tafsir surat al-maidah ayat 6,
masalah ke-3)
[7] dengan lafadz: “tayammum itu
dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai
siku.”
Judul
asli: tayammum
sumber: asysyariah.com